“ Dengan menyebut nama Tuhanku, aku hendak meminta hatimu dan dirimu,..Akan ku tunggu engkau dan jawabmu hingga batas waktu dari Tuhanku yang memintaku merangkak..atau mengharamkanku..Akan tetap ku nanti jawaban itu dari mu,..”
Perempuan yang semasa mudanya sering dipanggilnya Ukhti itu seperti tak akan melekangkan makna dari gantungan kunci kecil untuk sebuah kotak dengan dengan angka sebanyak nama – nama Tuhan-nya. Sebuah benda yang mungkin tiada berarti bagi siapapun. Benda itu hanyalah sisa dari lelaki yang memberanikan diri dengan menyebut nama Tuhan-nya untuk memintanya. Dan mungkin inilah yang menjadi teka- teki hidupnya. Ya, ini seakan kisah hati dua remaja yang mempunyai batasan.
Memang sudah menjadi fitrah bagi setiap manusia memiliki pemikiran akan perasaan yang menggelora tersebut, terlebih di usia – usia muda. Tiada satupun yang menyangkal akan gejala ini. Dan memang, terkadang hal ini kurang terkendali. Mungkin pula ada orang yang mengatakan terlalu naïf dan munafik ketika mengkaitkanya persoalan ini dengan persoalan agama. Tapi apa mau dikata, gejala ini bukanlah menjadi fatamorgana belaka meskipun dalam lingkup pesantren sekalipun, terlebih di usia muda.
* * *
Lelaki itu kiranya adalah Adi, pemuda yang selama hidupnya selalu berguru padanya – pesantren di Ngawi dengan aturan pasti mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan yang di diaminya tiga tahun ini semenjak lulus sekolah menengah pertama. Pertama ia pijakan kakinya terlalu banyak pikiran dalam otaknya, mungkin karena keinginan orang tuanya yang selama ini berlabel keturunan kyiai. Benarkah ini jalanku, Tuhan? Pria ini nampaknya benar-benar menjadi orang asing, dan mungkin ini prestasi orangtuanya yang berhasil membentuknya menjadi manusia asing. Hingga kajian-kajian rutin yang diladeninya setiap waktu yang selalu menggunakan cara yang asing baginya.
“ Nak, jangan antum samakan cara belajarmu di sini dengan tempat belajarmu sebelumnya!”
“ Tapi ustadz, kenapa kami dibatasi kain?”
“Ikhwan dan Akhwat yang bukan mukhrim memang harus dipisahkan.”
“Tapi kenapa?”
“Kelak seiring dari apa yang antum pelajari pasti akan terjawab pertanyaan itu.”
Benar saja, tiga tahun menimba ilmu di pesantren tersebut membuat Adi menjadi seorang Ikhwan, yang tentunya membatasi diri dari Akhwat, baik dari pandangan maupun berbicara. Adi hanya mampu memandang akhwat – akhwat itu dari kejauhan.
Keadaan ini tentunya menjadi hal yang membosankan bagi siapapun yang tak terbiasa. Terlebih bagi Adi, pemuda dengan latar belakang system pendidikan yang berbeda jauh dari apa yang dialami sebelumnya, mungkin hal seperti ini sangatlah konyol karena membuatnya seperti terkekang dalam tirani, dalam penjara. Namun, setidaknya ada hal yang membuatnya sedikit memberikan nafas, terlebih jika berbicara mengenai gelora pemuda tentang asmara. Pesantren yang didiaminya memiliki perpustakaan yang cukup besar dan dikeloala oleh santri – santrinya, baik ikhwan maupun akhwat.
Mungkin sebuah ketidaksengajaan atau memang takdir atau jodoh, ketika syuro’ pengelola perpustakaan yang melibatkan pengurus ikwan maupun akhwat, Adi hanyalah pengurus ikhwan yang datang. Kondisi kepengurusan pengelola perpustakaan tersebut juga dikatakan labil karena jarang sekali pengelola yang sanggup menghadiri syuro’. Di sisi lain hanya ada Ifah, ukhti yang baru setahun menetap di pesantren tersebut. Kedua insan ini pernah menimba ilmu di sekolah menengah atas yang sama dan saling mengenal sebelumnya.
“ Ukhti, di akhwat ada siapa saja? Di Ikwan hanya ada ana saja.”
“ Di akhwat hanya ada ana saja juga akh.”
“ Afwan, kalau begitu mulai sekarang kita koordinasinya lewat kotak pesan saja, ya, ukh. Kotak pesan ana yang nomer satu.”
“Afwan akh, ana belum punya kotak pesan.”
“ Kalau begitu ana kasihkan nomer 99 buat ukhti.”
“ Sukron, ya, akhi.”
Semenjak kejadian itu, kedua insan tersebut seakan tidak mampu mengelak dari hati masing – masing. Isi pesan yang disampaikan bukan hanya koordinasi terkair ikhwal pengelolaan perpus melainkan pesan – pesan hati. Dan tanpa disadari cinta itu terajut. Ya, meskipun dengan sembunyi – sembunyi. Karena memang menjadi larangan keras bagi santri di pesantren tersebut untuk berpacaran. Jadi? Mereka hanya bisa menyampaikan apa yang hendak disampaikan melalui kotak pesan tersebut. Entah apa saja isinya, hanya kotak – kotak pesan yang terbuat dari kayu mahoni tua itu yang menjadi saksinya. Tapi yang sudah pasti tidak bertemu secara langsung, terlebih janjian sebelumnya, jika demikian sudah jelas dikatakan pacaran dan tentunya haram hukumnya.
Ya, meskipun tak mampu meluapkan cinta layaknya pasangan muda pada umumnya, mereka sangat bersyukur dan bahagia. Rajutan cinta mereka senantiasa merebak seperti jamur yang dilingkupi kelembaban embun yang menyejukan. Hati mereka seperti tertambat dengan perantara kotak pesan dari kayu mahoni itu yang nampaknya hanya mereka saja yang menggunakannya. Setiap hari, selalu ada kalimat – kalimat yang menggetarkan hati. Luar biasa jiwa anak muda!!
Suatu ketika munculah keberanian Adi untuk meminta hati Ifah sepenuhnya lewat surat ke kotak pesan. Dengan amplop warna biru yang disukai kekasihnya itu, Adi bermaksud menyampaikan kesungguhan hatinya terkait hubungan mereka. Namun, sayangnya Ifah terlanjur berangkat ke Kairo untuk menuntut ilmu. Kepergiannya sempat membuatnya hampir berkecil hati, namun, lagi – lagi dia tetap berharap akan kembalinya kekasihnya itu untuk membalas pesannya.
* * *
Adi sekarang merupakan satu – satunya orang yang mau menjadi pengelola perpustakaan di pesantern itu. Dia merupakan santri paling senior di pesantren tersebut karena hampir tiga tahun yang lalu rekan – rekan sebayanya sudah kembali ke daerah asal masing – masing. Namun, tidak hal nya dengan Adi.
Sepuluh tahun sejak kepergian Ifah ke Kairo, masih tidak membuatnya memalingkan hati. Satu tempat yang ia selalu rawat dan jaga adalah kotak – kotak pesan dari kayu mahoni tua terkhusus kotak angka 99 yang diberikannya khusus untuk kekasihnya yang tentunya tidak terbuka selama sepuluh tahun ini. Waktu itu tanpa diduga merupakan waktu yang menjawab asa nya yang tak lekang juga selama ini. Ifah bersama suami dan seorang anaknya kembali dari Kairo dan berkunjung ke pesantren tersebut, pesantren yang dulu pernah mengukir impian, ilmu, serta kisah cintanya yang membuat Adi bertahan selama ini.
Perpustakaan, tempat yang paling berkesan baginya adalah tempat yang ingin sekali dikunjunginya. Dia meminta satu – satunya pengelola perpustakaan yang ada untuk mengantarkannya dan suaminya ke kotak pesan yang dulu sering digunakannya. Mungkin wajah itu memang tak pernah dikenalnya karena sistem berbicara dengan pembatas dari pesantren yang merupakan aturan baku bagi para santri. Perempuan itu terheran ketika dia melihat pengelola perpustakaan dengan jenggot agak tebal itu seperti tersenyum dengan sedikit tampak mata yang berkaca – kaca ketika dia membuka kotak dengan angka 99 yang tentunya sepuluh tahun ini tidak pernah terbuka.
Perempuan itu tercengang melihat sepucuk surat dalam amplop warna biru, warna kesukaanya. Dia pun akhirnya membaca dengan mata yang pada akhirnya berkaca pula.
“ Dengan menyebut nama Tuhanku, aku hendak meminta hatimu dan dirimu, Ifah. Ku ingin kan kau menjadi bidadari yang mengisi dan menghiasi rumahku dan menjadikannya surga bagi kita. Akan ku tunggu engkau dan jawabmu hingga batas waktu dari Tuhanku yang memintaku merangkak ke rumahmu untuk memintamu atau akan mengharamkanku untuk kembali meminta dirimu untuk ku. Saat itu akan menyadarkanku tentang arti dirimu bagiku yang sesungguhnya. Semoga kau memberikan ku jawaban dengan nama Tuhan mu sebanyak tanda di kunci kotak pesan yang ku berikan untuk mu, Ifah. Akan tetap ku nanti jawaban itu dari mu, Ifah. Maka jawablah ketika kau selesai membaca, untuk ku.”
“ Kau baru saja memberiku jawaban yang terbaik, Ifah…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar