Bagi para siswa dimanapun kalian berada, berikut kalian bisa melihat Stelistika/Unsur Retorika atau Gaya Bahasa atau Majas secara lengkap
2.3 Stelistika dan Unsur Retorika
2.3.1 Stelistika
Stile (style atau gaya bahasa) (Keraf, 1994: 113) adalah cara pengungkapan pikirar melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pengarang. Stile pada hakekatnya merupakan teknik yakni teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan disampaikan atau diungkapkan
Stilistika berasal dari Bahasa Inggris yaitu “Style” yang berarti gaya dan dari bahasa serapan “linguistic” yang berarti tata bahasa. Stilistika menurut kamus Bahasa Indonesia yaitu Ilmu Kebahasaan yang mempelajari gaya bahasa. Sedangkan menurut C. Bally, Jakobson, Leech, Widdowson, Levin, Ching, Chatman, C Dalan, dan lain-lain menentukan stilistika sebagai suatu deskripsi linguistic dari bahasa yang digunakan dalam teks sastra.
Dalam konteks yang lebih luas, bahkan Jakobson dalam Amminuddin (1995::21) beranggapan bahwa poetics (puitika) sebagai teori tentang system dan kaidah teks sastra sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Linguistic. Bagi jakobson Poetics deals with problem of verbal structure, just as he analysis of painting is concered with pictorial structure since linguistics is the global science of verbal structur, poetics may be regarded as an integral of linguistic.
Stilistika adalah mana lain dari istilah “gaya bahasa”. Lebih khusus lagi, gaya bahasa yang dimaksud adalah penggunaan bahasa dalam karya sastra. Pengertian ini dipertentangkan dengan penggunaan bahasa biasa diluar karya sastra. Penggunaan bahasa diluar karya sastra (Atmazaki, 1990:93)dikenal dengan antara lain: gaya bahasa Koran, gaya bahasa formal, gaya bahasa keilmuan, gaya bahasa pejabat, gaya bahasa humor, gaya bahasa percakapan, an lain sebagainya.
Berbeda dengan wawasan di atas, Chvatik (Aminuddin :1995 :22) mengemukakan Stilistika sebagai kajian yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagai kode estetik dengan kajian stilistik yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagaimana bahasa menjadi objek kajian linguistik. Sedangkan menurut Rene Wellek dan Austin Warren (1990 : 221).Stilistika perhatian utamanya adalah kontras system bahasa pada zamannya.
Bertolak dari berbagai pengertian di atas, Aminuddin (1995:46) mengartikan stilistika sebagai studi tentang cara pengarang dalam menggunakan system tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk itu yang dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan system tandanya. Walaupun fokusnya hanya pada wujud system tanda untuk memperoleh pemahaman tentang ciri penggunaan system tanda bila dihubungkan dengan cara pengarang dalam menyampaikan gagasan pengkaji perlu juga memahami (i) gambaran obyek/peristiwa, (ii) gagasan, (iii) ideologi yang terkandung dalam karya sastranya.
Kajian Stilistika merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan obyektif. Dinyatakan demikian karena ditinjau dari sasaran kajian dan penjelasan yang dibuahkan, kajian stilistika merupakan kajian yang berfokus pada wujud penggunaan system tanda dalam karya sastra yang diperoleh secara rasional-empirik dapat dipertanggung jawabkan. Landasan empiric merujuk pada kesesuian landasan konseptual dengan cara kerja yang digunakan bila dihubungkan dengan karakteristik fakta yang dijadikan sasaran kajian.
Pada apresiasi sastra, analisis kajian stilistika digunakan untuk memudahkan menikmati,memahami,dan menghayati system tanda yang digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang.
Dari penjelasan selintas di atas dapat ditarik kesimpulan tentang analisis yang dilakukan apresiasi sastra meliputi (a) analisis tanda baca yang digunakan pengarang, (b) analisis hubungan antara system tanda yang satu dengan yang lainnya, (c) analisis kemungkinan terjemahan satuan tanda yang ditentukan serta kemungkinan bentuk ekspresi yang dikandungnya. Kaitannya dengan kritik sastra, kajian stilistika digunakan sebagai metode untuk menghindari kritik sastra yang bersifat impesionistis dan subyektif. Melalui kajian stilistika (Aminuddin :1995 : 42).diharapkan dapat memperoleh hasil yang memenuhi kriteria obyektifitas dan keilmiahan
2.3.2 Retorika
Bahasa di dalam karya sastra adalah bukan bahasa seperti yang dipakai dalam kommilkasi sehari-hari. Bahasa dalam karya sastra lebih banyak ditujukan untuk mendapat efek estetis. Untuk kepentingan itulah maka bahasa dalam karya sastra disiasati dan dimanipulasi sedemikian rupa sehinga akan berbeda dengan bahasa nonsastra. Semi (1993: 52) mengatakan bahwa “Bahasa yang dipergunakan sebagai perantara karya sastra itu bukan bahasa komunikasi yang dipergunakan sehari-hari, tetapi merupakan bahasa khas”. Bentuk pengungkapan bahasa di dalam karya sastra haruslah berhasil guna mendukung gagasan secara tepat sekaligus mengandung efek estetis sebagai sebuah karya seni.
Efek estetis untuk mendukungkefektifan kalimat dalam karya sastra dapat diperoleh dengan memanfaatkan unsure retorika. Retorika adalah suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik (Keraf, 1993:52). Yang dimaksud retorika dalam penelitisan ini adalah unsure-unsur kebahasaan dan makna yang digunakan oleh pengarang di dalam mengungkapkan ide dan gagasanya secara jelas dan indah sehingga akan tercipta wacana efektif dan khas. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2002: 298), unsur retorika meliputi penggunaan bahasa figuratif (figurative language) dan wujud pencitraaan (imagety).
Retorika berasal dari bahasa Ingeris rethoric yang artinya ‘ilmu bicara’. Dalam perkembangannya, retorika disebut sebagai seni berbicara di hadapan umum atau ucapan untuk menciptakan kesan yang diinginkan. Retorika adalah suatu gaya/seni berbicara baik yang dicapai berdasarkan bakat alami dan keterampilan teknis. Dewasa ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses komunikasi antar manusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara secara lancar tampa jalan fikiran yang jelas dan tampa isi, melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Berretorika juga harus dapat dipertanggung jawabakan disertai pemilihan kata dan nada bicara yang sesuai dengan tujuan, ruang, waktu, situasi, dan siapa lawan bicara yang dihadapi.
2.3.3 Macam Unsur Retorika
2.3.3.1 Pemajasan
Menurut Burhan Nurgiyantoro (2002: 296) pemajasan (Figure of thought) merupakan teknik pengungkapkan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada imkna kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang terkandung. Dengan demikian, pemajasan merupakan gaya bahasa yang memanfaatkan bahasa kiasan. Bahasa kiasan adalah bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan sesuatu dengan tidak menunjuk secara langsung, terhadap objek yang, dituju.
Penggunaan bahasa kiasan dimaksudkan untuk menunjukkan efek tertentu sehingga apa yang dikemukakan lebih menarik. Dalam karya sastra penggunaan kiasan ini dimaksudkan untuk memperoleh efek estetis, sehingga pembaca akan lebih tertarik. Menurut Dale (lewat Tarigan, 1985: 179), bahasa kias adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk menimbulkan efek tertentu dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan benda atau hal tertentu dengan benda lain yang lebih umum.
Bahasa figuratif sendiri menurut Waluyo (1995:83) disebut pula sebagai majas. Menurutnya “bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung”.
Gaya inilah yang membuat setiap penulis mempunyai cara yang berbeda-beda dalam menuangkan setiap karya tulisnya. Rasa dan watak dari setiap penulis itulah yang melatarbelakangi sebuah gaya tulisnya, terutama pada gaya bahasa yang digunakan. Dengan demikian, penggunaan gaya bahasa yang dipakai oleh seorang penulis dalam tulisannya bergantung pada penulis itu sendri. Sebagaimana yang diungkapkan Jabrohim, Suminto A. Sayuti, dan Chairul Anwar (2001:119) bahwa gaya bahasa merupakan ciri khas seorang pengarang atau cara yang khas pengungkapan seorang pengarang.
Bahasa kiasan di sini memang menjadi salah satu unsur yang menarik dari sebuah tulisan yang dihasilkan oleh seorang penulis. Oleh karena itu, setiap penulis akan berusaha membuat tulisan semenarik mungkin untuk menarik pembaca. Untuk mendukung tulisannya agar menarik itulah, seorang penulis menggunakan sebuah bahasa yang unik dan berbeda dengan penulis lain.
Bahasa kiasan dalam sebuah penulisan karya sastra mencerminkan sifat dan kepribadian penulis. Hal inilah yang akan menjadi ciri tersendiri dari penulis tersebut. Bahasa kiasan juga merupakan sumber dan daya yang amat penting dalam menulis. Oleh karena itu, lebih lanjut dapat dikatakan bahwa para ahli mempunyai batasan-batasan sendiri mengenai gaya bahasa.
Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Gaya atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya emakaian kata, frasa, atau klausa tertentu untuk menghadapi hirarki kebahasaan, pilihan kata secara individual, frasa, atau klausa dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Dengan demikian, style atau gaya bahasa (Keraf, 2004:113) dapat dikenal dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa)
Ahli sastra Panuti Sudjiman (1990:33) menyatakan bahwa yang disebut gaya adalah cara menyampaikan pikiran dan perasaan dengan kata-kata dalam bentuk tulisan maupun lisan. Sementara A. Widyamartaya (1991:53) menjelaskan bahwa pembicaraan tentang gaya bahasa bukanlah soal menggaya, melainkan daya guna bahasa. Gaya bahasa ini merupakan kesanggupan menyampaikan pengalaman batin dengan hasil sebesar-besarnya.
Andi Baso Mappatoto (1994:86) menerangkan bahwa gaya adalah (1) cara, teknik, atau prosedur; (2) menyatakan diri yang menunjukkan adanya keunikan; (3) tuturan mesti jelas, sejelas seperti apa yang mau dituturkan oleh penutur. Selanjutnya menurut FX. Koeswoyo, JB. Margantoro, dan Ronnie S. Viko (1994 :86), gaya atau style adalah pemilihan dan penggunaan kata-kata sedemikian sehingga menghasilkan pengertian tertentu bagi pembacanya. Kemudian Jacob Sumardjo dan Saini K.M (1998:127) berpendapat bahwa : gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa agar daya ungkap atau daya tarik atau sekaligus kedua-duanya bertambah.
Dari beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah cara atau teknik mengungkapkan pikiran dan perasan alam bentik lisan maupun tulisan dengan menggunakan bahas yang khas sehingga dapat memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis serta dapat menghasilkan suatu pengertian yang jelas dan menarik bagi para pembaca.
2.3.3.2 Jenis-jenis majas
Perrin (dalam Henry Guntur Tarigan, 1995:141) membedakan gaya bahasa menjadi tiga, yaitu: (1) perbandingan yang meliputi metafora, kesamaan, dan analogi; (2) hubungan yang meliputi metonimia dan sinekdoke; (3) pernyataan yang meliputi hiperbola, litotes, dan ironi.
Badudu (dalam Riyono Pratikno, 1984: 151) menerangkan bahwa gaya bahasa dibedakan menjadi empat yaitu: (1) gaya bahasa perbandingan; (2) gaya bahasa sindiran; (3) gaya bahasa penegasan; (4) gaya bahasa pertentangan. Sementara itu, Keraf (2004:124-145) membagi gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat yang meliputi: (1) klimaks; (2) antiklimaks; (3) paralelisme; (4) antitesis, dan (5) repetisi (epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis). Kemudian berdasarkan langsung tidaknya makna, meliputi: (1) gaya bahasa retoris terdiri dari aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis (preterisiso), apostrof, asindenton, polisindenton, kiasmus, elipsis, eufemisme, litotes, hysteron, prosteron, pleonasme dan tautology, perifrasis, prolepsis (antisipasi), erotesis (pertanyaan retoris), silepsis dan zeugma, koreksio (epanortosis), hiperbola, paradoks, dan oksimoron; (2) gaya bahasa kiasan meliputi persamaan atau simile, metafora, alegori, parable, fable, personifikasi (prosopopoeia), alusi, eponym, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, dan sarkasme, satire, innuendo, antifrasis.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa dapat dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu: (1) gaya bahasa perbandingan, (2) gaya bahasa perulangan, (3) gaya bahasa sindiran, (4) gaya bahasa pertentangan, (5) gaya bahasa penegasan.
Adapun penjelasan masing-masing gaya bahasa di atas adalah sebagai berikut :
1) Gaya Bahasa Perbandingan
Pradopo (1990:62) berpendapat bahwa gaya bahasa perbandingan adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding, seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun, penaka, se, dan kata-kata pembanding yang lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa perbandingan adalah gaya bahasa yang mengandung maksud membandingkan dua hal yang dianggap mirip atau mempunyai persamaan sifat (bentuk) dari dua hal yang dianggap sama. Contoh: bibirnya seperti delima merekah
Adapun gaya bahasa perbandingan ini meliputi: hiperbola, metonimia, personifikasi, perumpamaan, metafora, sinekdoke, alusi, simile, asosiasi, eufemisme, pars pro toto, epitet, eponym, dan hipalase.
a) Hiperbola
Keraf (2004:135) berpendapat bahwa hiperbola yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-basarkan suatu hal. Sementara itu, menurut Burhan Nurgiyantoro (2002:300) hiperbola adalah gaya bahasa yang cara penuturannya bertujuan menekankan maksud dengan sengaja melebih-lebihkan Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlabihan dari kenyataan.
b) Metonimia
Aminuddin (1995:241) berpendapat bahwa metonimia adalah pengganti kata yang satu dengan kata yang lain dalm suatu konstruksi akibat terdapatnya ciri yang bersifat tetap. Kemudian menurut pendapat Altenbernd sebagaimana dikutip Pradopo (1995:77) mengatakan bahwa metonimia adalah penggunaan bahasa sebagai sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa metonimia adalah penaman terhadap suatu benda dengan menggunakan nama yang sudah terkenal atau melekat pada suatu benda tersebut.
c) Personifikasi
Pradopo (1995:75) berpendapat bahwa personifikasi adalah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, perpikir, dan sebagainya seperti manusia. Pendapat tersebut menyiratkan bahwa personifikasi adalah gaya bahasa yang mempersamakan benda-benda mati seolah-olah dapat hidup atau mempunyai sifat kemanusiaan.
d) Perumpamaan
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:24) berpendapat bahwa perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berbeda, tetapi sengaja dianggap sama. Pendapat tersebut menyiratkan bahwa perumpamaan merupakan suatu gaya bahsa yang berusaha membandingkan sesuatu dengan hal lain yang dianggap mempunyai sifat sama atau mirip.
e) Metafora
Keraf (2004:139) brpendapat bahwa metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung tetapi dalam bentuk yang singkat.
f) Sinekdoke
Keraf (2004:142) berpendapat bahwa sinekdoke adalah semacam bahasa figurative yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Sejalan dengan pendapat tersebut, Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:24) mengemukakan bahwa sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan atau sebaliknya. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sinekdoke adalah gaya bahasa yang menggunakan nama sebagian untuk seluruhnya atau sebaliknya.
g) Alusi
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:24) berpendapat bahwa alusi adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung pada suatu tokoh atau peristiwa yang sudah diketahui. Dari pendapat di tersebut dapat disimpulkan bahwa alusi adalah gaya bahasa yang menunjuk sesuatu secara tidak langsung kesamaan antara orang, peristiwa atau tempat.
h) Asosiasi
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:24) berpendapat bahwa asosiasi adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat memperbandingkan sesuatu dengan keadaan lain yang sesuai dengan keadaan yang dilukiskan. Pendapat tersebut menyiratkan bahwa asosiasi adalah gaya bahasa yang berusaha membandingkan sesuatu dengan hal lain yang sesuai dengan keadaan yang digambarkan.
i) Eufemisme
Gorys Keraf (2004:132) berpendapat bahwa eufemisme adalah acuan berupa ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan, atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan. Sementara itu, menurut Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:25) eufemisme adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat menggantikan satu pengertian dengan kata lain yang hampir sama untuk menghaluskan maksud. Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa eufemisme adalah gaya bahasa yang berusaha menggunakan ungkapan-ungkapan lain dengan maksud memperhalus.
j) Pars pro toto
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:25) berpendapat bahwa pars pro toto adalah gaya bahasa yang melukiskan sebagian untuk keseluruhan. Maksud pendapat tersebut adalah pars pro toto merupakan suatu bentuk penggunaan bahasa sebagai pengganti dari wakil keseluruhan.
k) Epitet
Gorys Keraf (2004:141) berpendapat bahwa epitet adalah acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antar orang, tempat, atau peristiwa. Sementara itu, Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:25) epitet adalah gaya bahasa berwujud seseorang atau suatu benda tertentu sehingga namanya dipakai untuk menyatakan sifat itu.
l) Eponim
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:25) berpendapat bahwa eponim adalah gaya bahasa yang dipergunakan seseorang untuk menyebutkan suatu hal atau nama dengan menghubungkannya dengan sesuatu berdasarkan sifatnya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Gorys Keraf (2004:141) menjelaskan bahwa eponim adalah suatu gaya bahasa di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat. Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa eponym adalah pemakaian nama seseorang yang dihubungkan berdasarkan sifat yang sudah melekat padanya.
m) Hipalase
Gorys Keraf (2004:142) berpendapat bahwa hipalase adalah semacam gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain. Maksud pendapat di atas adalah hipalase merupakan gaya bahasa yang menerangkan sebuah kata tetapi sebenarnya kata tersebut untuk menjelaskan kata yang lain.
n. Simile
Gorys Keraf (2004:142) berpendapat bahwa simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yakni kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya.
2) Gaya Bahasa Perulangan
Ade Nurdin, Yani Muryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat bahwa gaya bahasa perulangan adalah gaya bahasa yang mengulang kata demi kata entah itu yang diulang pada bagian depan, tengah, atau akhir, sebuah kalimat. Gaya bahasa perulangan ini meliputi: aliterasi, antanaklasis, anafora, anadiplosis, mesodiplosis, epanaplipsis, dan epuzeukis.
a) Alitersi
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat bahwa aliterasi adalah gaya bahasa yang memanfaatkan kata-kata yang permulaannya sama bunyinya. Jadi aliterasi adalah gaya bahasa yang mengulang kata pertama yang diulang lagi pada kata berikutnya.
b) Antanaklasis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat bahwa antanaklasis adalah gaya bahasa yang mengandung ulangan kata yang sama dengan makna yang berbeda. Jadi yang dimaksud dengan antanaklasis adalah sebuah perulangan kata yang sama dengan maksud yang berbeda.
Contoh : Bunga sangat cantik dengan blus bermotif bunga yang dikenakannya.
c) Anafora
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat bahwa anafora adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan kata pertama dalam kalimat berikutnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anafora adalah perulangan kata pertama yang sama pada kalimat berikutnya.
d) Anadiplosis
Gorys Keraf (2004:128) berpendapat bahwa anadiplosis adalah kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Sementara itu, Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) anadiplosis adalah gaya bahasa yang selalu mengulang kata terakhir atau frasa terakhir dalam suatu kalimat atau frasa pertama dari klausa dalam kalimat berikutnya. Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anadiplosis adalah gaya bahasa yang mengulang kata pertama dari suatu kalimat menjadi kata terakhir.
e) Mesodiplosis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:29) berpendapat bahwa mesodiplosis adalah gaya bahasa repetisi yang menggunakan pengulangan di tengah-tengah baris atau kalimat secara berurutan. Sementara itu menurut Gorys Keraf (2004:128) mesodiplosis adalah repetisi di tengah-tengah baris atau beberapa kalimat berurutan. Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa mesodiplosis adalah gaya bahasa repetisi yang mengulang kata di tengah-tengah baris atau kalimat.
f) Epanalipsis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:30) berpendapat bahwa epanalipsis adalah gaya bahasa repetisi kata terakhir pada akhir kalimat atau klausa. Kemudian menurut pendapat Gorys Keraf (2004:128) yang dimaksud dengan epanalipsis adalah pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa, atau kalimat, mengulang kata pertama. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa epanalipsis adalah pemngulangan kata pertama untuk ditempatkan pada akhir baris dari suatu kalimat.
g) Epizeukis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:30) berpendapat bahwa epizeukis adalah gaya bahasa repetisi yang bersifat langsung dari kata-kata yang dipentingkan dan diulang beberapa kali sebagai penegasan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Gorys Keraf (2004:127) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan epizeukis adalah repetisi yang bersifat langsung artinya kata-kata yang dipentingkan diulang berturut-turut. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa epizeukis adalah pengulangan kata yang bersifat langsung secara berturut-turut untuk menegaskan maksud.
3) Gaya Bahasa Sindiran
Gorys Keraf (2004:143) berpendapat bahwa gaya bahasa sindiran atau ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Jadi yang dimaksud dengan gaya bahasa sindiran adalah bentuk gaya bahasa yang rangkaian kata-katanya berlainan dari apa yang dimaksudkan. Gaya bahasa sindiran meliputi: sinisme, innuendo, melosis, sarkasme, satire, dan antifrasis. Lebih jelasnya akan dipaparkan maksud satu persatu dari jenis gaya bahasa sindiran tersebut.
a) Sinisme
Gorys Keraf (2004:143) berpendapat bahwa sinisme adalah gaya bahasa sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Sementara itu menurut Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:27) sinisme adalah gaya bahasa sindiran yang pengungkapannya lebih kasar. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sinisme adalah gaya bahasa yang bertujuan menyindir sesuatu secara kasar.
b) Innuendo
Gorys Keraf (2004:144) berpendapat bahwa innuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Kemudian menurut pendapat Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:27) innuendo adalah gaya bahasa sindiran yang mengecilkan maksud yang sebenarnya. Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa innuendo adalah gay bahasa sindiran yang mengungkapkan kenyataan lebih kecil dari yang sebenarnya.
c) Melosis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002: 27) berpendapat bahwa melosis adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang merendah dengan tujuan menekankan atau mementingkan hal yang dimaksud agar lebih berkesan dan bersifat ironis. Jadi yang dimaksud melosis adalah gaya bahasa sindiran yang merendah dengan tujuan menekankan suatu yang dimaksud.
d) Sarkasme
Herman J. Waluyo (1995:86) berpendapat bahwa sarkasme adalah penggunaan kata-kata yang keras dan kasar untuk menyindir atau mengeritik. Jadi yang dimaksud dengan sarkasme adalah gaya bahasa penyindiran dengan menggunakan kiata-kata yang kasar dan keras.
e) Satire
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat bahwa satire adalah gaya bahasa yang berbentuk penolakan dan mengandung kritikan dengan maksud agar sesuatu yang salah itu dicari kebenarannya. Sementara itu menurut Gorys Keraf (2004:144) satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa satire adalah gaya bahasa yang menolak sesuatu untuk mencari kebenarannya sebagai suatu sindiran.
f) Antifrasis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat bahwa antifrasis adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata yang bermakna kebalikannya dan bernada ironis. Sementara itu, menurut pendapat Gorys Keraf (2004:132) menjelaskan bahwa antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa antifrasis adalah gaya bahasa dengan kata-kata yang bermakna kebaliknnya dengan tujuan menyindir.
4) Gaya Bahasa Pertentangan
Gaya bahasa pertentangan adalah gaya bahasa yang maknanya bertentangan dengan kata-kata yang ada. Menurut Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:26), gaya bahasa pertentangan meliputi: paradoks, antitesis, litotes, oksimoron, hysteron prosteron, dan okupasi.
a) Paradoks
Gorys Keraf (2004:136) berpendapat bahwa paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta yang ada. Sementara itu menurut Ade nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:26) paradoks adalah gaya bahasa yang bertentangan dalam satu kalimat. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa paradoks adalah gaya bahasa yang kata-katanya mengandung pertentangan dengan fakta yang ada.
b) Antitesis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:26) berpendapat bahwa antitesis adalah gaya bahasa yang menggunakan paduan kata yang artinya bertentangan. Jadi dapat dijelaskan bahwa antitesis adalah gaya bahasa yang kata-katanya merupakan dua hal yang bertentangan.
c) Litotes
Henry Guntur Tarigan (1995:144) berpendapat bahwa litotes adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikecil-kecilkan, dikurangi dari pernyataan yang sebenarnya. Sementara itu menurut Gorys Keraf (2004:132) yang dimaksud dengan litotes adalah gaya bahasa yang mangandung pernyataan yang dikurangi (dikecilkan) dari makna sebenarnya. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa litotes adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan dikurangi (dikecilkan) dari makna yang sebenarnya.
d) Oksimoron
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:26) menjelaskan bahwa oksimoron adalah gaya bahasa yang antara bagian-bagiannya menyatakan sesuatu yang bertentangan. Sementara itu, menurut Gorys Keraf (2004:136) oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kiata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa oksimoron adalah gaya bahasa yang menyatakan dua hal yang bagian-bagiannya saling bertentangan.
e) Histeron Prosteron
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:26) berpendapat bahwa histeron prosteron adalah gaya bahasa yang berwujud kebalikan dari sesuatu yang logis. Jadi dapat dikatakan bahwa histeron prosteron adalah gaya bahasa yang menyatakan makna kebalikannya yang dianggap bertentangan dengan kenyataan yang ada.
f) Okupasi
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:26) berpendapat bahwa okupasi adalah gaya bahasa pertentangan yang mengandung bantahan, tetapi disertai penjelasan. Jadi dapat dijelaskan bahwa okupasi adalah gaya bahasa yang isinya bantahan terhadap sesuatu tetapi diikuti dengan penjelasan yang mendukung.
5) Gaya Bahasa Penegasan
Gaya bahasa penegasan adalah gaya bahasa yang mengulang kata-katanya dalam satu baris kalimat. Adapun pembagiannya, Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:22), membagi gaya bahasa penegasan ini menjadi dua, yaitu repetisi dan pararelisme.
a) Repetisi
Keraf (2004:127) berpendapat bahwa repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang nyata. Sementara itu, menurut Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:22) berpendapat bahwa repatisi adalah gaya bahasa penegasan yang mengulang-ngulang suatu kata secara berturut-turut dalam suatu kalimat atau wacana. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa repetisi adalah gaya bahasa yang mengulang kata-kata sebagai suatu penegasan terhadap maksudnya.
b) Paralelisme
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:22-23) paralelisme adalah gaya bahasa perulangan seperti repetisi yang khusus terdapat dalam puisi, terdiri dari anafora (pengulangan pada awal kalimat) dan epifora (pengulangan di akhir kalimat). Jadi dapat dijelaskan bahwa pararelisme adalah salah satu gaya bahasa yang berusaha mengulang kata atau yang menduduki fungsi gramatikal yang sama untuk mencapai suatu kesejajaran.